Gelombang Tsunami, Oseanografi Fisika
|
ANIS RAHMATIAH SALIM | i021043 | |
Pendahuluan
Secara keilmuan penyebab tersebut memang logis terjadi, karena erupsi gunung berapi mampu menyebabkan badan gunung tersebut longsor ke perairan hingga menyebabkan ketidakstabilan kolom laut (Apriani, M. dkk., 2017). Lokasi Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia menyebabkan wilayah Indonesia rawan dengan kejadian tsunami dari berbagai akibat (Julius, A.M. dkk., 2015). Namun kejadian tsunami akibat bukan gempa bumi tidak sering terjadi karena tsunami lebih dominan timbul dari gempa bumi berpusat di laut, berkekuatan magnitudo besar, dan berkedalaman dangkal (Julius, A.M. dkk., 2018).Ilmu kebumian menuliskan bahwa tsunami tidak hanya dibangkitkan oleh gempabumi, namun juga dapat dibangkitkan oleh fenomena lainnya yang mengganggu kestabilan kolom laut seperti aktivitas gunung berapi yang berada di laut, longsoran yang menuju ke laut dan jatuhnya benda-benda langit yang mengarah ke laut (Octhav, A. dkk., 2017).
Sebenarnya tidak ada sejarah pasti yang mengisahkan tentang awal mula bencana tsunami. Akan tetapi sejauh sejarah pengetahuan. Jepang adalah negara yang paling sering mengalami gempa dan tsunami. Jadi sejarah munculnya tsunami selalu merujuk kepada negara matahari terbit tersebut, apalagi didukung dengan asal usul istilah tsunami itu sendiri. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, penggunaan istilah tsunami baru mulai dikenal dunia setelah gempa besar mengguncang Jepang pada tanggal 15 Juni 1896. Akibat dari gempa tersebut adalah naiknya gelombang tsunami yang menewaskan kurang lebih 22.000 jiwa serta menghancurkan area pantai timur Honshu sejauh 280 kilometer. Walau banyak negara lain yang juga telah mengalami tsunami sejak lama, termasuk Indonesia. Namun nenek moyang pada masa itu belum mengenal istilah tsunami sampai terjadinya bencana di Jepang tahun 1896. Sebagai contoh, masyarakat Sulawesi Tengah sering menyebut kejadian tersebut sebagai 'air laut berdiri. Badan Sains Amerika Serikat dalam hal ini National Oceanic Atmospheric Administration atau NOAA. Menurut badan tersebut, tsunami pertama di Indonesia terjadi pada tahun 416 dan sejak saat itu hingga akhir Desember 2018 tercatat sudah ada 246 kali tsunami terjadi. Indonesia adalah negara ketiga sebagai kawasan rawan bencana tsunami dimana Jepang di urutan pertama dan Amerika Serikat di urutan kedua. Ketiga negara tersebut rawan karena dilalui oleh ring of fire atau cincin api. Selain itu Indonesia diapit tiga lempeng aktif, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut mengakibatkan risiko terjadinya gempa dan tsunami di Indonesia semakin meningkat. Beberapa kawasan yang rawan gempa dan tsunami di Indonesia adalah bagian barat Pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, Nusa Tenggara, utara Papua, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan timur Pulau Kalimantan. Menurut Yulianto (2008), Indonesia setidaknya mengalami gempa bumi rata- rata sebanyak 15 kali dalam satu hari Gempa tersebut ada yang berpotensi tsunami dan ada juga yang tidak. Selama setahun terjadi kurang lebih satu kali tsunami di Indonesia.
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang paling sering dilanda tsunami dengan 71 kejadian atau hampir 9% dari jumlah tsunami di dunia. Penyebab kenapa Indonesia menduduki peringkat kedua tersebut karena letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama pembentuk kerak bumi, yaitu Lempeng Eurasia yang bergerak ke arah tenggara dan Lempeng Indo-Australia yang bergerak memanjang di Samudera Hindia dari arah utara (Aceh) hingga sekitar Laut Timor di timur dan Lempeng Pasifik yang bergerak di sekitar Samudera Pasifik hingga utara Papua.Berdasarkan pengalaman historis, kejadian tsunami sangat membahayakan bagi komunitas masyarakat di wilayah pesisir pantai, meskipun daerah tersebut jauh dari kawasan yang rawan gempa bumi (tektonik maupun vulkanik) bawah laut. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat bencana tsunami sangatlah besar, yaitu dapat berupa kematian, kehilangan harta benda, kehancuran sarana dan prasarana khususnya di daerah pesisir pantai, menimbulkan gangguan ekonomi dan bisnis, bahkan dapat mengganggu keadaan psikologis (traumatic) masyarakat.Negara-negara atau kota yang rentan terhadap bencana tsunami sudah selayaknya memiliki suatu tindakan preverentif dan mitigasi untuk menghadapi serangan tsunami baik itu pra maupun pasca agar mengurangi resiko yang ditimbulkan bencana tsunami, sesuai dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain dengan pembuatan dokumen mitigasi bencana, pembangunan lokasi evakuasi yang dapat digunakan baik yang bersifat alamiah berupa bukit, maupun buatan berupa bangunan khusus untuk penampungan masyarakat saat terjadi bencana. Selain itu, pembuatan rambu evakuasi dan rute evakuasi serta penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat menjadi terlatih dan tidak panik saat bencana tsunami benar-benar terjadi. Salah satu dari sekian banyak wilayah di bagian timur Indonesia yang menyimpan potensi tsunami yang cukup besar adalah Kota Palu dan sekitarnya. Tercatat telah terjadi tiga kali kejadian di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun 1927, 1968 dan 1996, sementara sekitar Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6 kejadian. Wilayah Kota Palu dan sekitarnya terdapat beberapa potongan sesar yang sangat berpotensi membangkitkan gempa bumi yang cukup kuat. Sesar tersebut adalah Sesar Palu-Koro yang memanjang dari Palu ke arah Selatan dan Tenggara melalui Sulawesi Selatan bagian Utara menuju ke selatan Bone sampai di Laut Banda (Pratomo, R. A., dan Rudiarto, I., 2013).
Negara yang indah dan makmur, memiliki sejarah yang penting banyak dan besar. Bahwa peristiwa gempa yang terjadi di Indonesia telah ada sejak ratusan tahun yang silam. Negara archipelago ini berada pada lempeng tektonik dan berada pada tiga lempeng terbesar di dunia. Luar biasanya ternyata Indonesia memiliki patahan (sesar) terbesar di dunia, terdapat di Laut Banda. Tidak hanya itu posisi Indonesia ada di area cincin api dunia (ring of fire), yang suatu waktu dapat mengalami kehancuran disebabkan oleh banyaknya gunung berapi dan patahan. Sebab itu, negara ini memerlukan tata kelola kebijakan alam yang mumpuni. Menurut studi para ahli, dalam catatan sejarah, gempa dan tsunami di Indonesia sudah terjadi beratus tahun yang lalu. Studi mengenai Gunung Toba yang meletus ribuan tahun lalu, diperkirakan para ahli - Gunung Toba Purba itu masih aktif dan bisa meletus kapan saja, juga letusan gunung Tambora yang telah mengubah dunia, termasuk catatan beberapa kali tsunami yang telah terjadi di Indonesia dari sejak lama, likuifaksi yang merupakan pergerakan tanah menjadi tidak stabil. Contoh-contoh itu dibuktikan pada gempa di pulau Sumatera tercatat sejak tahun 1797, 1833,1861, dan terakhir tahun 2022 di Tapanuli. Di pulau Jawa pun demikian pula, tercatat gempa pada tahun 1699, 1834 dan banyak lagi, terakhir di Cianjur dan Banten tahun 2023. Di Sulawesi juga terjadi di wilayah Talaud, Palu Donggala dengan gempa 7,5 SR diikuti oleh likuifaksi, juga di Paser Kalimantan 2023 - dan sebagai tambahan informasi - Kalimantan memiliki tiga sesar purba yang suatu waktu dapat aktif kembali, dan gempa di Maluku Ambon dan Laut Banda pada tahun 1674 dengan 6,5 SR, dan terakhir di gempa Jayapura, Papua, Februari 2023 yang disebut oleh BMKG sebagai swan black earthquake ( Aziz dan Surandika , 2023).
PEMBAHASAN
2.1. APA ITU TSUNAMI
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Secara geologis, Indonesia menjadi pertemuan antara tiga lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo-australia lempeng Eurasia dan lempeng pasifik. Oleh sebab itu, menurut Setiawan (2014) dalam Hermon (2015:2) berbagai fenomena seperti gempa bumi dan erupsi gunung api sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan keadaan tersebut maka Indonesia memiliki berbagai ancaman bencana yang dapat terjadi kapanpun. Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan karena terdiri dari ribuan pulau yang membentang dari Sabang di ujung barat hingga Merauke di ujung timur. Karena terdiri dari pulau-pulau maka Indonesia sangat rawan mengalami bencana tsunami. Bencana tersebut merupakan suatu gelombang laut sangat besar yang dihasilkan oleh perubahan vertikal massa air dan diakibatkan oleh gangguan massa air di laut dalam secara tiba-tiba hal semacam ini biasa disebut tsunami (NERC,2000;Abbott, 2004 dalam Sunarto dkk, 2014:58).
Tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh gempabumi yang terjadi di dasar laut. Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut. Di laut dengan kedalaman 7000 m misalnya, kecepatannya bisa mencapai 942,9 km/jam. Kecepatan ini hampir sama dengan kecepatan pesawat jet. Namun demikian tinggi gelombangnya di tengah laut tidak lebih dari 60 cm. Akibatnya kapal-kapal yang sedang berlayar diatasnya jarang merasakan adanya tsunami. Berbeda dengan gelombang laut biasa, tsunami memiliki panjang gelombang antara dua puncaknya lebih dari 100 km di laut lepas dan selisih waktu antara puncak-puncak gelombangnya berkisar antara 10 menit hingga 1 jam. Saat mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau muara sungai gelombang ini menurun kecepatannya, namun tinggi gelombangnya meningkat puluhan meter dan bersifat merusak.
Tsunami adalah salah satu pristiwa dari resiko ikutan gempa yang sangat ditakuti oleh umat manusia. Pengalaman gempa yang disusul dengan tsunami pada 26 Desember 2004, dan telah memakan korban jiwa dan harta benda yang luar biasa menyebabkan bangsa Indonesia trauma dengan tsunami. Diposaptono dan Budiman (2005), menyatakan bahwa secara harfiah, tsunami berasal dari bahasa Jepang “tsu” (pelabuhan) dan “nami”(gelombang). Secara umum tsunami diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan. Diposaptono dan Budiman (2005) mendefinisikan tsunami sebagai gelombang laut, dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif (dapat berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran) yang terjadi melalui media laut. Menurut Subarjo (2015) Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuat bencana tsunami ini harus diperhitungkan . Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang, “tsu” berarti pelabuhan, dan “nami" berarti gelombang. Gerakan vertikal pada kerak bumi dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba. Mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami (Pacific Tsunami Museum, 2007). Di Indonesia, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, wilayah rawan bencana tsunami meliputi 21 wilayah, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan Kendari (Putranto, 2006).
Dampak terbesar terhadap kejadian tsunami dapat dirasakan langsung oleh Penduduk lokal yang tinggal di pesisir pantai (Mikami dkk., 2020). Pada 24 Desember 2004, gempa tektonik Sumatera-Andaman yang berpusat di 3.295°N dan 95.982°E menjadi pemicu gelombang tsunami besar di sekitar pesisir barat pantai Propinsi Aceh. Dampak terbesar dirasakan pada daerah Lhok Nga dengan tinggi gelombang tsunami pada daerah pesisirnya mencapai 35 meter, sedangkan daerah lain di pesisir Aceh terkena tsunami dengan ketinggian sekitar 15 meter (Lavigne dkk., 2009). Kejadian tsunami di Indonesia sendiri menyebabkan banyak korban jiwa. Berdasarkan data dari USAID, korban tsunami bulan Desember 2004 mencapai 226.000 (meninggal atau hilang) yang ada di beberapa lokasi seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Myanmar, Bangladesh, India, Sri Lanka, and Maldives, termasuk negara-negara di Afrika (Lavigne dkk., 2009).
Sesungguhnya tsunami bukan merupakan hal baru, karena terdapat sejarah panjang tentang tsunami dan gempa bumi yang pernah terjadi di Samudera Hindia. Sejarah ini tertanam secara mendalam pada cerita rakyat dan budaya masyarakat adat yang berlari ke daratan tinggi sebelum gelombang-gelombang datang. Sayangnya, masyarakat yang menjadi korban jiwa, tidak memiliki pengetahuan mengenai dampak gempa bumi dan tsunami. Gelombang-gelombang tsunami tersebut datang dengan kekuatan yang dahsyat melewati terumbu karang dan menghantam daratan, yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan yang amat banyak. (Surinati, 2009) Kejadian tsunami yang merengkut korban besar salah satunya yaitu tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2006 di Aceh. Gempa bumi yang mengakibatkan tejadinya tsunami tersebut menelan banyak korban. Triatmadja (2010 : 25) menjelaskan bahwa sebagian besar kematian akibat tsunami di Indonesia karena tidak siapnya masyarakat terhadap kedatangan tsunami, pendeknya jarak antara daerah pembangkitan gelombang dengan permukiman, tidak adanya peringatan dini, tidak cukup tersedia infrastuktur untuk evakuasi, dan rendahnya daerah permukiman terhadap permukaan air laut sehingga tsunami merambat cukup jauh ke daratan.
2.2. HUBUNGAN OSEANOGRAFI FISIKA DAN TSUNAMI
untuk mengkaji gempa, ilmu geologi dapat memperhitungkan kekuatan gempa dan lempeng mana saja yang bergerak, sedangkan ilmu oseanografi dapat digunakan untuk memperhitungkan wilayah samudra yang terkena dampak gempa dan menghitung ketinggian serta kecepatan gelombang tsunami. Meskipun sama-sama merupakan gelombang air laut yang tinggi dan mencapai daratan, tsunami dan fenomena pasang air laut sangatlah berbeda. Ahli kelautan bahkan memiliki sendiri istilahnya yakni gelombang laut seismik (Seismic Sea Wave). Gelombang laut seismik ini terjadi karena berbagai hal di dasar samudera hingga mampu tumbuh tinggi, besar dan mengerikan.
Beberapa hal yang bisa memicu munculnya tsunami adalah gempa bumi dangkal di dasar laut, pergeseran dan tumbukan lempeng bumi, letusan gunung berapi, jatuhnya benda langit ke laut hingga longsoran di lereng gunung api laut atau dasar samudera.Berbagai hal itu akhirnya membuat dasar laut berubah mendadak karena adanya perpindahan partikel dan keseimbangan air laut terganggu. Sehingga kemudian munculah aliran energi air laut ke permukaan yang memicu gelombang sangat tinggi dan bersifat merusak ke bibir pantai.
Fisika menjelaskan kalau ciri tsunami adalah waktu rambatnya lebih lama daripada gelombang seismik. Disebutkan pula jika kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman air di mana gelombang ini muncul. Tak main-main, smong ini bahkan bisa mencapai kecepatan setara pesawat terbang yakni ratusan kilometer per jam. Tak heran kalau banyak korban jiwa seperti musibah di Aceh, Donggala hingga Banten lantaran tak mampu mengimbangi kecepatannya. Jika dikaitkan dengan fisika, tsunami mirip dengan perambatan gelombang transversal. Sehingga bisa disimpulkan cepat rambat gelombang ini di episentrumnya, . Di mana g adalah percepatan gravitasi dan d simbol dari kedalaman air. Sehingga pada kedalaman 10 kilometer di samudera Hindia, kecepatan awal gelombang perusak ini mencapai 300 m/s atau 1.000 km/jam.
2.3. FAKTOR PENYEBAB GELOMBANG TSUNAMI
Tsunami terutama disebabkan oleh gempabumi di dasar laut. Tsunami yang dipicu akibat tanah longsor di dasar laut, letusan gunungapi dasar laut, atau akibat jatuhnya meteor jarang terjadi. Menurut Marwanta (2005) Penyebab tsunami sebagian besar diakibatkan oleh adanya gempa bumi tektonik, yang biasanya bersifat dangkal, magnitude besar dan mempunyai mekanisme sesar naik atau turun. Ditinjau dari seting tektonik, penunjaman lempeng di barat pulau Sumatera dan selatan pulau Jawa menerus sampai ke Nusa Tenggara Timur mengakibatkan ancaman bencana Tsunami yang bersumber dari gempa tektonik di zona itu. Sementara di Indonesia Bagian Timur banyak patahan-patahan di laut yang berpotensi menimbulkan tsunami seperti Sesar Flores, Sesar Wetar, Sesar Palu Koro, Sesar Sorong dll. Selain faktor besarnya magnitude dan kedalaman fokus gempa yang menjadi penyebab tsunami, faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnnya tsunami saat tiba di pantai adalah jarak pusat gempa terhadap pantai. Selain itu faktor karakteristik pantai seperti bentuk pantai, bentuk morfologi pantai dan kedalaman dasar litut juga berpengaruh terhadap tingginya gelombang tsunami yang tiba di pantai.
Selain karena pergerakan lempeng aktif itu sendiri yang berada di dasar samudera yang menimbulkan bencana gempa tektonik, tatanan geologi tersebut juga menyebabkan Indonesia mempunyai beberapa gunung api bawah laut yang dapat menimbulkan gempa vulkanik secara tiba-tiba dan sama-sama menyimpan potensi tinggi terjadinya tsunami bila kedua gempa ini terjadi di dasar perairan Indonesia. topografi yang beraneka ragam, mulai dari dataran rendah sampai perbukitan dengan kerapatan penduduk yang relatif tinggi di sepanjang daratan rendah yang berada di sepanjang pantai. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor utama pemicu tingginya kerawanan bencana tsunami (Pramana, B.,S. , 2015). Tsunami lintas samudera (trans-oceanic tsunamis) biasanya dipicu oleh gempa tektonik besar (9.0) atau erupsi gunung api (Schubert, 2015; Satake et al., 2020). Analisis relasi antara magnitudo momen gempa dan tinggi maksimum gelombang tsunami dibahas dalam penelitian terdahulu(Okal et al., 2014; Heidarzadeh et al., 2018) dalam konteks gempa tektonik yang memicu gelombang tsunami lintas Samudera Pasifik
2.4. DAMPAK GELOMBANG TSUNAMI
Dampak Tsunami semakin intensif pada lingkungan yang mempunyai ciri dan bentuk pantai, tata letak bangunan sebagai berikut. Pantainya terletak di bagian teluk yang setengah tertutup, pantainya tidak ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat ,pantainya tidak memiliki tanggul atau galengan penahan gelombang yang cukup tinggi ( Daoed, D dkk., 2013). Menurut Arifin (2021) Dampak gelombang tsunami tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia, korban yang sangat besar jumlahnya dan kerugian di bidang ekonomi. Wilayah pesisir yang terkena gelombang tsunami membutuhkan waktu yang lama dan sumber daya ekonomi yang mahal untuk memulihkannya [11]. Tercatat dalam dua dekade terakhir, telah terjadi 12 tsunami dari 252 gempa bumi dengan total kerugian 79,5 triliun rupiah.
Menurut Tursina dkk., (2015) Interaksi gaya hidrodinamik gelombang tsunami, slope bathimetri , slope topografi dan pengaruh kekasaran tutupan lahan menyebabkan proses transpor sedimen. Gelombang tsunami dapat menggerus sedimen (erosi) dan mengendapkannya (deposit) pada daerah lain yang dilaluinya. Menurut Muzakkir, M. (2019) Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
Tsunami tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik terhadap bangunan, jalan, jembatan, sistem sanitasi dan lainnya, tetapi juga menyebabkan tercemarnya lahan pertanian yang disebabkan oleh intrusi air laut dan terendapnya lumpur berkadar garam tinggi di atas permukaan tanah. Salinitas tanah merupakan faktor pembatas penting pertumbuhan tanaman. Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah akan menyebabkan osmotik potensial larutan dalam tanah berkurang. Larutan akan bergerak dari daerah yang konsentrasi garamnya rendah ke konsentrasi tinggi. Akibatnya akar tanaman kesulitan menyerap air, karena air terikat kuat pada partikel-partikel tanah dan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan fisiologis pada tanaman (Rachman, A dkk., 2008).
Berikut ini terdapat 2 dampak tsunami, terdiri atas:
1. Dampak Positif Tsunami
Dampak Positif dari bencana tsunami :
Ø Bencana alam merenggut banyak korban, sehingga lapangan pekerjaan menjadi terbuka luas bagi yang masih hidup
Ø Kegunaan secara Psikologis: Menjalin kerjasama dan bahu- membahu untuk menolong korban bencana, menimbulkan efek kesadaran bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain.
Ø Kita bisa mengetahui samapai dimanakah konstruksi bangunan kita serta kelemahannya, dan kita dapat melakukan inovasi baru untuk penangkalan apabila bencana tersebut datang kembali tetapi dengan konstruksi yang lebih baik.
2. Dampak Negatif
Dampak Negatif dari bencana tsunami:
Ø Merusak apa saja yang dilaluinya. bangunan, tumbuh-tumbuhan dan dan mengakibatkan korban jiwa manusia, serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
Ø Banyak tenaga kerja ahli yang menjadi korban, sehingga sulit mencari lagi tenaga ahli yang sesuai dalam bidang pekerjaannya.
Ø Pemerintah akan kewalahan dalam pelaksanaan pembangunan pasca bencana, karena faktor dana yang besar.
Ø Menambah tingkat kemiskinan apabila ada masyarakat korban bencana yang kehilangan harta benda.
2.5. UPAYA PENANGGULANGAN
Dalam studi tsunami, bahwa pohon bakau (Mangrove) memiliki kemampuan untuk meredam gelombang tsunami sampai 50 persen tergantung pada komposisi Hutan Bakau (Mangrove) dan tinggi gelombang tsunami. Hutan Bakau (Mangrove) ini berfungsi sebagai sebagai peredam limpasan gelombang tsunami di wilayah pesisir pantai tersebut. Dengan rusaknya sumber daya alam pasca tsunami ini perlu segera mendapatkan perhatian dari Pemerintah untuk segera mendapatkan perhatian serius untuk menanggulangi dan perlu segera melakukan perlindungan pantai meliputi segala kegiatan yang berkaitan dengan upaya mengurangi atau meredam energi gelombang tsunami sehingga limpasan energi gelombang tsunami ke arah daratan yang diminimalkan. Pemerintah juga perlu merancang suatu model tata ruang permukiman suatu kampung tepi pantai yang memperhitungkan kemudahan evakuasi dan mobilisasi penduduk apabila terjadi gelombang tsunami di wilayah pantai yang bersangkutan.
Kejadian bencana dapat menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi, karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya. Bencana gempa bumi yang terjadi disertai dengan tsunami mengakibatkan wilayah pesisir rusak. Di lain sisi, wilayah pesisir Indonesia termasukpadat dengan permukiman dan pembangunan.Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia punterletak di wilayah pesisir. Oleh karena itu upaya untuk mengurangi atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan oleh tsunami mengingat sifatmerusak yang sangat besar menjadi sangat penting. Upaya yang dapat dilakukan yaitu:
1) mencegah perkembangan permukiman di wilayah pesisir, yang berbatasan langsung dengan laut. Berkenaan dengan hal ini maka pemerintah harus mempersiapkan model tata ruang yang memasukkan unsur resiko tsunami.
2) membuat zona penyangga, dengan tanaman mangrove ataupun tanaman pantai lainnya seperti cemara pantai (Casuarina equisefolia), nyamplung (Calophyllum sp.), dan ketapang (Terminalia catappa) (Santoso dkk., 2019).
Menurut Solihuddin dkk., (2020) Upaya pengurangan dampak risiko bencana tsunami yang dilakukan harus secara menyeluruh tidak hanya aspek fisik semata, namun juga mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, dan kelembagaan. Upaya mitigasi dari aspek fisik, harus memperhitungkan sumber atau pemicu tsunami. Perlindungan pantai dengan menggunakan sabuk hijau (greenbelt) sangat direkomendasikan dalam upaya mengurangi dampak risiko bencana. Selain itu, sabuk hijau juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya tersedia secara lokal, murah, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Jenis vegetasi yang umum digunakan adalah mangrove selain jenis vegetasi lainnya seperti beringin pantai, mahoni, ketapang, dan tanaman keras lainnya. Namun demikian, sabuk hijau juga memiliki beberapa keterbatasan diantaranya: 1) dapat tergerus erosi dengan cara cliffing (pengikisan vertikal), sheet wash (pengikisan lateral), dan tidal creek extension (perluasan area pasang-surut). 2) membutuhkan area kosong yang luas, dan 3) membutuhkan pasokan sedimen yang cukup. Aspek sosial ekonomi mencakup kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana harus ditingkatkan melalui sosialisasi, edukasi, dan pelatihan. Upaya pengurangan dampak risiko bencana dengan alam. Masyarakat harus sadar betul bahwa bencana tidak dapat dihindari dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi dampaknya. Menggali kearifan lokal dan membangun kesadaran kolektif masyarakat akan risiko bencana melalui kurikulum pendidikan di sekolah, sosialisasi, dan pelatihan merupakan opsi yang layak dipertimbangkan. Sistem peringatan dini tsunami dapat dipertimbangkan untuk diimplementasikan.
Menurut Karminarsih, E. (2007) Mengingat begitu strategisnya peran hutan mangrove untuk melindungi maupun melestarikan komponen ekosistem wilayah pesisir dan laut, makahutan mangrove mutlak diperlukan. Dengan demikian, program perlindungan dan pelestarian mangrove perlu mendapatkan perhatian dan prioritas yang tinggi, khususnya bagi muara-muara sungai dan laguna. Secara ekologis fungsi hutan mangrove dalam melindungi dan melestarikan kawasan pesisir adalah:
1. melindungi garis pantai dan kehidupan di belakangnya dari gempuran tsunami dan angin, karena kondisi tajuknya yang relatif rapat, dan kondisi perakarannya yang kuat dan rapatmampu mencengkeram dan menstabilkan tanah habitat tumbuhnya, dan sekaligus mencegah terjadinya salinisasi pada wilayah-wilayah di belakangnya;
2. melindungi padang lamun dan terumbu karang, karena sistem perakarannya mampu menahan lumpur sungai dan menjerap berbagai bahan pollutant, yang secara ekologis pada akhirnya akan dapat melindungi kehidupan berbagai jenis flora dan fauna yang berasosiasi dengan padang lamun dan terumbu karang;
3. melindungi tempat buaya dan berpijahnya berbagai jenis ikan dan udang komersial, termasuk melindungi tempat tinggal, baik tetap maupun sementara berbagai jenis burung, mamalia, ikan, kepiting, udang, dan reptilia, yang banyak diantaranya termasuk jenis binatang yang dilindungi undang-undang. Secara sosial, hutan mangrove juga dapat melestarikan adanya keterkaitan hubungan sosial dengan masyarakat setempat. Karena banyak di antara mereka yang membutuhkan mangrove sebagai tempat mencari ikan, kepiting, udang, maupun mendapatkan kayu dan bahan untuk obat-obatan. Di samping itu secara ekonomi, hutan mangrove secara luas akan dapat melindungi nilai ekonomi maritim (Alikodra, 2002).
KESIMPULAN
Tidak ada sejarah pasti yang mengisahkan tentang awal mula bencana tsunami. Akan tetapi sejauh sejarah pengetahuan. Jepang adalah negara yang paling sering mengalami gempa dan tsunami. Jadi sejarah munculnya tsunami selalu merujuk kepada negara matahari terbit tersebut. Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang paling sering dilanda tsunami dengan 71 kejadian atau hampir 9% dari jumlah tsunami di dunia. Penyebab kenapa Indonesia menduduki peringkat kedua tersebut karena letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama pembentuk kerak bumi. Tsunami adalah salah satu pristiwa dari resiko ikutan gempa yang sangat ditakuti oleh umat manusia. Secara harfiah, tsunami berasal dari bahasa Jepang “tsu” (pelabuhan) dan “nami”(gelombang). Secara umum tsunami diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan. Diposaptono dan Budiman (2005) mendefinisikan tsunami sebagai gelombang laut, dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif (dapat berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran) yang terjadi melalui media laut.
Untuk mengkaji gempa, ilmu geologi dapat memperhitungkan kekuatan gempa dan lempeng mana saja yang bergerak, sedangkan ilmu oseanografi dapat digunakan untuk memperhitungkan wilayah samudra yang terkena dampak gempa dan menghitung ketinggian serta kecepatan gelombang tsunami. Meskipun sama-sama merupakan gelombang air laut yang tinggi dan mencapai daratan, tsunami dan fenomena pasang air laut sangatlah berbeda. Ahli kelautan bahkan memiliki sendiri istilahnya yakni gelombang laut seismik (Seismic Sea Wave). Gelombang laut seismik ini terjadi karena berbagai hal di dasar samudera hingga mampu tumbuh tinggi, besar dan mengerikan.Fisika menjelaskan kalau ciri tsunami adalah waktu rambatnya lebih lama daripada gelombang seismik. Penyebab terjadinya tsunami yaitu gempa bumi dangkal di dasar laut, pergeseran dan tumbukan lempeng bumi, letusan gunung berapi, jatuhnya benda langit ke laut hingga longsoran di lereng gunung api laut atau dasar samudera. Tsunami tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik terhadap bangunan, jalan, jembatan, sistem sanitasi dan lainnya, tetapi juga menyebabkan tercemarnya lahan pertanian yang disebabkan oleh intrusi air laut dan terendapnya lumpur berkadar garam tinggi di atas permukaan tanah.
Kejadian bencana dapat menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi, karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya. Bencana gempa bumi yang terjadi disertai dengan tsunami mengakibatkan wilayah pesisir rusak. Di lain sisi, wilayah pesisir Indonesia termasukpadat dengan permukiman dan pembangunan.Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia punterletak di wilayah pesisir. Oleh karena itu upaya untuk mengurangi atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan oleh tsunami mengingat sifatmerusak yang sangat besar menjadi sangat penting. Upaya yang dapat dilakukan yaitu:
3) mencegah perkembangan permukiman di wilayah pesisir, yang berbatasan langsung dengan laut. Berkenaan dengan hal ini maka pemerintah harus mempersiapkan model tata ruang yang memasukkan unsur resiko tsunami.
4) membuat zona penyangga, dengan tanaman mangrove ataupun tanaman pantai lainnya seperti cemara pantai (Casuarina equisefolia), nyamplung (Calophyllum sp.), dan ketapang (Terminalia catappa) (Santoso dkk., 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 2003. Ekosistem Mangrove sebagai Pelindung Alami Wilayah Pesisir. Makalah disampaikan pada Workshop Penyelamatan Ekosistem Pesisir di Kawasan Penambangan Pasir, Departemen Kelautan dan Perikanan. Batam.12 Nopember 2003.
Arifin, A. Z. 2021. Simulasi Dampak Penghalang pada Gelombang Tsunami Menggunakan Persamaan Air Dangkal dengan Metode Beda Hingga. Jambura Journal of Mathematics. 3(2): 93-102.
Pratomo, R. A., dan Rudiarto, I. 2013. Permodelan Tsunami dan Implikasinya Terhadap Mitigasi Bencana diKota Palu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. 9(2): 174-182.
Pramana, B. S. 2015. Pemetaan Kerawanan Tsunami Di Kecamatan Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Social Science Education Journal. 2(1): 76-91.
Apriani, M. Yusuf, M. Julius, A. M. Heryanto, D.T. dan Marsono, A. 2017. Estimasi Ketebalan Sedimen dengan Analisis Power Spectral Pada Data Anomali Gaya Berat, Studi Kasus di DKI Jakarta. Jurnal Ilmiah Geomatika 3(2): 65-74.
Schubert, G. 2015. Tsunamis, in Treatise . Geophysics .1(4) : 477-504.
Karminarsih, E. 2007. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Bagi Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 13(3): 182-187.
Rachman, A., Erfandi, D. E. D. D. Y., dan Ali, M. N. 2008. Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya. Tanah Dan Iklim. 2(8): 27-38.
Daoed, D., Febriansyah, M. D., dan Syukur, M. 2013. Model Fisik Arah Aliran Gelombang Tsunami di Daerah Purus dan Ulak Karang Padang. Jurnal Rekayasa Sipil. 9(2): 20-30.
Julius, A.M. 2015. Earthquake Response of Storey Building in Jakarta using Accelerographs Data Analysis. Prosiding International Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation. Bandung11 November 2014.
Heidarzadeh, M., Ishibe, T., Sandanbata, O., Muhari, A. and Wijanarko, A. B. 2020. Numerical Modeling Of The Subaerial Landslide Source Of The 22 December 2018 Anak Krakatoa Volcanic Tsunami, Indonesia. Ocean Engineering. 195(106733):1-11.
Okal, E. A., Reymond, D. and Hébert, H. 2014. From earthquake size to far-field tsunami amplitude: development of a simple formula and applicationto DART buoy data. Geophysical Journal International. 196: 340-356.
Satake, K., Heidarzadeh, M., Quiroz, M. and Cienfuegos, R. 2020. History and features of trans-oceanic tsunamis and implications for paleo-tsunami studies. Earth-Science Reviews, Vol. 202, No. 103112
Julius, A.M. Pribadi, S. dan Merdijanto, U. 2018. Perbandingan Katalog Tsunami NOAA USA dan NTL Rusia Studi Kasus Tsunami di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XIV ISOI 2017. Tanjung Pinang 9 November 2017.
Muzakkir, M. (2019). Jurnalisme warga dampak tsunami di Aceh (studi kasus Meulaboh). SOURCE: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2). 109-125.
Octhav, A. Julius, A.M. Muzli, and Rudyanto, A. 2017. Modified of Ground Motion Prediction Equation in Indonesia, case study: South and South-East of Sulawesi at 2011-2015.Prosiding International Symposium on Earth-hazard and Disaster Mitigation. Bandung11-12Oktober 2016.
Aziz Samudra, A., & Suradika, A. 2023. Buku: BLACK SWAN EARTHQUAKE THEORY DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK PADA MITIGASI KEBENCANAAN.
Diposaptono, S. dan Budiman. 2005. Tsunami. Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer.
Santoso, D., Yamin, M., & Makhrus, M. 2019. Penyuluhan Tentang Mitigasi Bencana Tsunami Berbasis Hutan Mangrove Di Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak Lombok Timur. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 2(1).
Marwanta, B. 2005. Tsunami di Indonesia dan Upaya Mitigasinya. Alami: Jurnal Teknologi Reduksi Risiko Bencana, 10(2), 195692.
Surinati, Dewi. 2009. Kondisi Oseanografi Fisika Perairan Barat Sumatera (Pulau Simeulue Dan Sekitarnya) Pada Bulan Agustus 2007 Pasca Tsunami Desember 2004. Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, April 2009: 17-22
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Hermon, Dedi. 2015. Geografi Bencana Alam. Jakarta : Rajawali Pers.
Triatmadja, Radianta. 2010. Tsunami Kejadian, Penjalaran, Daya Rusak, Dan Mitigasinya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Lavigne, F., Paris, R., Grancher, D., Wassmer, P., Brunstein, D., Vautier, F., Leone, F., Flohic, F., de Coster, B., Gunawan, T., Gomez, C., Setiawan, A., Cahyadi, R., & Fachrizal. (2009). Reconstruction of tsunami inland propagation on December 26, 2004 in Banda Aceh, Indonesia, through field investigations. Pure and Applied Geophysics, 166(1–2), 259–281. https://doi.org/10.1007/s00024-008- 0431-8
Mikami, T., Shibayama, T., Esteban, M., & Aránguiz, R. (2020). Comparative Analysis of Triggers for Evacuation during Recent Tsunami Events. Natural Hazards Review, 3(21), 04020022. https://doi.org/10.1061/(asce)nh.1527-6996.0000386
Putranto, Eka T. 2006. Gempabumi dan Tsunami. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, 5 hlm
Subardjo, Petrus dan Raden Ario,2015 Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Jurnal Kelautan Tropis September 2015 Vol. 18(2):82–97 Yogyakarta
Sunarto, Aris Marfai, Muh, Mardiatno, Djati, Sutikno, Lavigne, Franck. 2014. Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Kepesisiran Parangtritis. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Solihuddin, T., Salim, H. L., Husrin, S., Daulat, A., dan Purbani, D. (2020). Dampak tsunami Selat Sunda di Provinsi Banten dan upaya mitigasinya. Jurnal Segara, 16(1): 15-28.
Tursina, Asrita , Meutia, Syamsidik dan Ella Meilianda. 2015. Simulasi Numerik Dampak Tsunami 2004 Terhadap Morfologi Pantai Di Kawasan Peukan Bada, Aceh Besar. 1(2) : 54-65.
Komentar
Posting Komentar